Komunitas Sekolah, Sebagai Kaderisasi Muhammadiyah

Esai ini saya tulis karena ada hal yang membuat saya harus merefleksikan hasil diskusi dengan siswa. Ketika berdiskusi dengan siswa saat awal pembelajaran Kemuhammadiyahan tema kaderisasi, saya tanyakan langsung kepada siswa.

“Siapa yang siap jadi kader IPM?”

Ada yang menjawab siap dan tidak siap. Saya coba perdalam alasan yang tidak siap. Alasan yang diungkap adalah tidak bisa membagi waktu dalam organisasi.

Sepintas dari cuplikan kisah di atas menggambarkan pemahaman kader dari sisi organisatoris. Bahwa umumnya siswa atau masyarakat masih melihat kader itu adalah pengurus di organisasi. Memang benar, kader merupakan jantung suatu organisasi. Kader juga berarti anggota inti yang menjadi bagian terpilih dalam lingkup dan lingkungan pimpinan serta mendampingi di sekalian kepemimpinan. 

Melihat fenomena di atas, saya jadi teringat perkataan (alm) Malik Fadjar. Bahwa memaknai kader jangan hanya dilihat dari sisi organisatoris. Kader juga bisa dilihat dari sisi ideologi, orang yang masih satu ideologi Muhammadiyah sebenarnya adalah kader Muhammadiyah juga. Ini menarik, karena seringkali saya menjumpai orang-orang yang di luar organisasi Muhammadiyah, namun dari sisi ideologi sejalan dengan ideologi Muhammadiyah.

Berbicara terkait perkaderan tidak lepas dari membicarakan manusia. Manusia itu memiliki fungsi individu dan fungsi sosial. Manusia juga memiliki potensi. Perkaderan hakikatnya merupakan sebuah proses pendidikan (tarbiyah).

Pendidikan perkaderan dalam Muhammadiyah diarahkan untuk mengembangkan seorang sebagai manusia yang berpotensi, berenergi positif, kreatif dan luar biasa sehingga tumbuh menjadi manusia yang mampu mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi.

Proses perkaderan yang dikembangkan, diharapkan menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan. Perubahan tersebut diawali dari perubahan cara berpikir, ide, pencerdasan akal, dan pencerahan.

Proses kaderisasi di Muhammadiyah dilaksanakan melalui beberapa jalur. Ada jalur keluarga, jalur amal usaha, jalur organisasi otonom, dan jalur program khusus seperti Majelis Pendidikan Kader (MPK).

Jenis perkaderan setidaknya ada dua. Pertama, perkaderan utama dengan ciri standar kurikulum baku dan standar operasional yang telah ditentukan. Kedua, perkaderan fungsional. Di perkaderan fungsional tidak ditetapkan standar kurikulumnya secara baku dan sifatnya adalah sebagai pendukung perkaderan utama.

Kader organisatoris yang ada di persyarikatan tentu jelas dan secara ideologi tidak bisa lepas. Namun, bagi orang yang di luar organisasi tetapi memiliki ideologi Muhammadiyah perlu juga “disapa” untuk kepentingan dakwah Muhammadiyah yang lebih luas. Wadah organisasi tentu tidak bisa menampung semua orang-orang “ideologis” Muhammadiyah. Perlu sekiranya jembatan penghubung yang menghubungkan kader-kader “ideologis” di luar organisasi dengan Muhammadiyah.

Ideologi Muhammadiyah merupakan sistem keyakinan, cita-cita, dan arah perjuangan yang memiliki tujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Ideologi tersebut berisi Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM), Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), Khittah Perjuangan Muhammadiyah, serta keputusan-keputusan resmi Muhammadiyah  yang akan membina kualitas iman takwa dan berpengaruh terhadap perilaku dan etos kerja.   

Kader Muhammadiyah merupakan bagian dari usaha membangun peradaban kemanusiaan. Hal ini perlu menjadi kesadaran sejak awal ketika bermuhammadiyah. Sehingga, kader Muhammadiyah bisa memberikan warna peradaban dengan warna Muhammadiyah yang memberikan pencerahan dan kemajuan masyarakat.

Dengan demikian, sangat penting dan strategis memperkuat ideologis kader baik melalui proses perkaderan formal, informal maupun non formal untuk membangun ikatan batin kuat antara kader dengan Muhammadiyah.

Kembali ke awal tulisan, ketika saya menjelaskan karakteristik gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, dan tajdid baik bersifat purifikasi maupun reformasi, kompak seluruh siswa menyetujui dan bersedia ambil bagian dalam gerakan tersebut sesuai bakat dan kemampuan masing-masing. Ini sebagai cerminan, bukankah berpaham Islam berkemajuan, cerdas berilmu, etos kerja tinggi, berjiwa Al-Ma’un bagian dari karakter utama orang Muhammadiyah?

Berjam’iyah (berorganisasi) dan berjama’ah (berkomunitas) merupakan salah satu ciri khas orang Muhammadiyah. Segenap kader (pengurus organisasi) selain mengurus perkaderan formal yang berjenjang, ada baiknya menggalakkan komunitas untuk “merawat” kader-kader ideologis yang belum tergerak menjadi pengurus (struktural) organisasi dan atau karena memang untuk menjadi pengurus juga terbatas tempatnya. Sehingga, pengembangan perkaderan secara kultural melalui komunitas berdasarkan minat bakat penting juga dilakukan, terutama di jalur AUM sekolah menengah.

Sekolah adalah salah satu bentuk dakwah kultural dari Muhammadiyah. Realitas yang saya tulis di awal wajar terjadi. Sekarang tinggal bagaimana kita “merawat” kader-kader ideologis yang berproses di sekolah Muhammadiyah agar memiliki ikatan batin kuat dan kedepannya mereka dengan sukarela dan aktif di Muhammadiyah. Gerakan perkaderan secara kultural bisa dilakukan dengan melibatkan para kader secara  nonformal maupun informal dalam rangka penguatan ideologi untuk kepentingan dakwah Muhammadiyah secara luas.

Ditulis oleh Hendro Susilo Humas SMA Muh PK

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *